PRIYANTO

JAKARTA, KOMPAS.com -- Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto mengakui adanya potensi korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dia pun meminta aparat terkait untuk mengusut potensi korupsi tersebut.
Hal itu disampaikan Prijanto di Jakarta, Minggu (2/9/2012) menanggapi laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mengatakan bahwa Pemrov DKI diduga paling tinggi melakukan tindak pidana korupsi.
"Kalau itu memang benar, harus ditindaklanjuti aparat terkait," ujar Prijanto yang sudah mengajukan pengunduran diri sebagai wakil gubernur itu.
Menurut Prijanto, sewaktu dirinya masih aktif menjalankan tugas sebagai wakil gubernur, ada sejumlah kasus dugaan korupsi yang terjadi di Pemrov DKI Jakarta. Sebagiannya, sudah ditangani lembaga penegak hukum. Namun, menurutnya, ada pula yang terjadi baru-baru ini.
"Kalau yang baru-baru, itu ada. Waktu saya wagub, itu ada. Kasus-kasus itu kan gak tahu tahun berapa, misalnya fasum/fasos itu kan kejadian beberapa waktu lalu sebelum saya wagub. Itu serah terima dari pengembang ke aparat pemerintah yang tidak dilengkapi dokumen, itu kan masa lalu," ungkapnya.
Namun Prijanto enggan menjelaskan lebih jauh indikasi korupsi di Pemrov DKI yang disebutnya terjadi baru-baru ini.
"Yaitu yang di BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), saya gak hafal lah, ada," tutur jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) itu.
Pada 24 Februari 2012 lalu, Prijanto mendampingi aktivis Solidaritas Anti Korupsi dan Anti Makelar Kasus Yurisman Munstar melaporkan ke KPK dugaan penyimpangan penggunaan anggaran yang dilakukan Fauzi Bowo. Saat itu Yurisman mengaku telah menyerahkan data dan rekaman ke KPK terkait dugaan penyimpangan anggaran oleh Fauzi Bowo tersebut.
Di samping itu, PPATK belakangan ini melansir data yang menunjukkan Pemrov DKI paling tinggi diduga melakukan tindak pidana korupsi adalah Pemprov DKI Jakarta. Pemprov pimpinan Fauzi Bowo ini berada di urutan pertama dengan 46,7 persen, sementara Provinsi Bangka Belitung terendah dengan 0,1 persen.
Terkait kasus korupsi di Pemrov DKI Jakarta, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 2010 memvonis bersalah Mantan Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi DKI, Journal Effendi Siahaan dengan hukuman delapan tahun penjara. Dia dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi pengadaan filler iklan di Biro Hukum Setda DKI Jakarta yang merugikan negara miliaran rupiah.

KORUPSI DI DKI

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengunjuk rasa yang menamakan dirinya Komisi Pemantau Korupsi (KPK) mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka menuntut keseriusan KPK untuk mengusut penyelewengan keuangan yang terjadi di Pemprov DKI Jakarta.
"Laporan PPATK semakin menguatkan dugaan adanya penyelewengan dana yang sistematis di tubuh Pemprov DKI. Ini juga melengkapi laporan Pak Prijanto (Wagub DKI) dan ICW sebelumnya," kata Taufik Akbar, koordinator aksi demo saat ditemui di depan Gedung KPK, Senin (3/9/2012) siang.
Menurut Taufik, laporan-laporan yang sudah diterima KPK seharusnya semakin menguatkan dugaan terjadinya korupsi di tubuh birokrasi DKI. Apalagi, beberapa data muncul dari lembaga yang berkompeten, bahkan kalangan internal seperti Wagub DKI Prijanto.
"Korupsi di DKI adalah korupsi birokrasi. Pasti ada 'king maker' di balik indikasi-indikasi yang dilaporkan. KPK harus responsif terhadap informasi yang dilaporkan," tandas Taufik.
Menurutnya, jika terjadi korupsi yang cukup masif di lingkup birokrasi berarti ada pembiaran dari pemimpin. Karena itu, pihaknya berharap pimpinan KPK segera memanggil dan memeriksa pejabat-pejabat DKI Jakarta.
Salah satu kasus yang disebutkan rombongan pengunjuk rasa berjumlah sekitar 50-an orang itu adalah perluasan dan pembebasan lahan TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur. Sesuai laporan Prijanto yang didampingi tokoh PAN AM Fatwa, pembebasan lahan itu terindikasi praktik mafia anggaran senilai Rp 10 miliar.